HomeBisnisIEF Research Institute: Penerapan Pajak Natura Harus Kedepankan Prinsip Keadilan

IEF Research Institute: Penerapan Pajak Natura Harus Kedepankan Prinsip Keadilan

Published on

spot_img



Suara.com – IEF Research Institute – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 66/PMK.03/2023. PMK ini adalah aturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Perpajakan (HPP) serta Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2022.

Dengan berlakunya PMK tersebut, mulai 1 Juli 2023, pemerintah memberlakukan pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas natura kenikmatan (fringe benefits).

Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat menekankan agar penerapan aturan pajak natura kenikmatan ini mengedepankan prinsip keadilan.

Pertama, teknis administrasi penerapan kebijakan ini harus dibuat sesederhana mungkin. Ariawan mengimbau agar penerapan PMK Nomor 66 Tahun 2023 ini tidak membuat biaya kepatuhan (cost of compliance) dari sisi perusahaan menjadi lebih tinggi.

Baca Juga:Breaking News: Pemko Batam Sediakan Bus Keliling untuk Bayar PBB di Kecamatan

Ia menjelaskan, dalam memenuhi kewajiban perpajakan, setiap wajib pajak, baik badan maupun orang pribadi pasti membutuhkan usaha yang akhirnya berpengaruh pada cost of compliance, baik berupa finansial, waktu, dan tenaga. Artinya, semakin sulit administrasi perpajakan maka cost of compliance pun akan semakin tinggi.

“Pengeluaran perusahaan atas berbagai natura kenikmatan itu kini bisa dibebankan sebagai biaya pengurang pajak bagi perusahaan (deductible expense). Hal ini menggeser beban pajak dari perusahaan ke individu sebagai penerima manfaat. Jangan sampai, di sisi perusahaan, cost compliance menjadi lebih tinggi,” tutur Ariawan, Kamis (10/8/23).

Kedua, masalah lainnya yang harus diperhatikan adalah penerapan matching cost against revenue atau biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan itu sendiri.

Ariawan menegaskan, sesuai Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010, biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenai final, atau penghasilan yang dikecualikan harus dipisahkan.

Adapun, prinsip matching cost against revenue menekankan perlunya menghubungkan beban biaya dengan pendapatan yang diakui pada periode yang sama. Untuk itu, Ariawan menekankan, dengan adanya PMK Nomor 66 ini, jangan sampai menimbulkan kesalahan koreksi fiskal apa bila terjadi pemeriksaan pajak.

Baca Juga:Pemerintah Berhasil Serok Pajak Digital Rp13,87 Triliun

“Harusnya, saat sudah menjadi revenue bagi karyawan, sudah mutlak menjadi cost di sisi perusahaan. Nah, jangan sampai, saat pemeriksaan terdapat koreksi fiskal biaya di perusahaan, dan kena PPh di sisi penerima manfaat. Sering kali dalam praktiknya kasusnya begitu,” kata Ariawan.



Source link

Latest articles

Komisi XI DPR uji 4 calon KAN yang akan periksa LK BPK tahun 2023

Untuk kami sebenarnya pertimbangan yang penting dalam memilih ini adalah nyali, selain reputasiJakarta...

Hamas Siap Tukar Semua Tentara Israel dengan Tahanan Palestina

PEJABAT senior Hamas mengatakan siap melepas semua tentara Israel yang ditawan dengan imbalan...

BI: Sinergi dan inovasi jadi kunci menjaga ketahanan ekonomi Sulteng

Palu (ANTARA) - Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah (KPwBI)...

Masa Depan Pengetahuan Kesehatan

PENGETAHUAN dan kebijakan kesehatan terus berkembang untuk mendukung optimalisasi pelayanan kesehatan kepada masyarakat....

More like this

Komisi XI DPR uji 4 calon KAN yang akan periksa LK BPK tahun 2023

Untuk kami sebenarnya pertimbangan yang penting dalam memilih ini adalah nyali, selain reputasiJakarta...

Hamas Siap Tukar Semua Tentara Israel dengan Tahanan Palestina

PEJABAT senior Hamas mengatakan siap melepas semua tentara Israel yang ditawan dengan imbalan...