Direktur Utama PT Kabaena Komit Pratama (KKP), AA, melalui pengacaranya, Aloys Ferdinand membantah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) menyita uang tunai senilai Rp75 miliar dari kliennya dalam kasus dugaan korupsi pertambangan ilegal di IUP PT Antam Tbk di Blok Mandiodo, Konawe Utara. Kejaksaan disebut menyita 11 rekening koran.
“Klien kami AA selaku Dirut PT KKP hanya menandatangani surat sita atas 11 rekening dan penyitaan atas 11 lembar rekening koran dari 11 rekening milik PT KKP dan pribadi dari tersangka AA selain dari itu tidak ada.” kata Aloys dalam keterangan tertulis, Kamis, 10 Agustus 2023.
Aloys mengatakan penyitaan terhadap kliennya dalam bentuk rekening koran bukan uang tunai baik mata uang rupiah, maupun dolar. Menurutnya, dari 11 rekening koran PT KKP yang disita bila dijumlah saldonya kurang lebih sekitar Rp53 miliar. Dia juga memastikan tidak ada rekening atau uang tunai dalam pecahan mata uang asing.
Baca juga: Kejagung Buka Peluang Jerat Tersangka Perorangan di Kasus Korupsi Minyak Goreng
PT KKP juga memastikan tidak pernah menerima uang dari hasil penjualan ore nikel yang diduga diambil di lokasi IUP PT Antam. PT KKP disebut tidak mengetahui apakah nikel yang dijual pada periode 2022 yang memakai dokumen PT KKP merupakan hasil penambangan dari IUP Antam. Sebab, PT KKP hanya meminjamkan dokumen.
“Jangankan menerima (uang korupsi), mengetahui nilai jual (ore nikel) pun enggak, jadi KKP dalam dokumen yang diberikan itu tidak mencantumkan ke rekening mana itu pembayaran ditransfer, karena masuk ke rekening peminjam dokumen,” jelas Aloys.
Baca juga: Duit Tukin Kementerian ESDM yang Dikorupsi Diubah jadi Rumah Mewah
Namun, atas dokumen tersebut, PT KKP tetap membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sesuai dengan nilai yang telah dikeluarkan oleh Surveyor. PT KKP sendiri hanya menerima fee atas dokumen tersebut sebesar 3 sampai 5 Dollar per metrik ton (MT).
“Klien kami baru menjabat 3 bulan sebagai direkur PT KKP. Bahwa klien kami sama sekali tidak mengetahui kegiatan penambangan yang dilakukan PT Lawu sebagai KSO dari Antam,” ungkap Aloys.
Aloys menyoroti penetapan tersangka kepada kliennya. Sebab, berdasarkan dokumen terbang yang telah dimiliki Kejaksaan, penyidik Kejaksaan bisa menelusuri aliran dana penjualan.
Menurut dia, bila kliennya disalahkan karena menerbitkan dokumen terbang, maka seharusnya sanksi yang diberikan dalam bentuk administrasi sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang masuk dalam dugaan tindak Pidana Ilegal Mining.
Namun, kata dia, dalam perkara ilegal mining, harus bisa membuktikan secara rinci siapa yang melakukan penambangan, kapan dilakukan penambangan. Kemudian, proses pengangkutan nikel tersebut, dan kapan serta siapa yang memasukan ke dalam tongkang maupun stock field.
“Sampai sekarang jaksa belum bisa membuktikan si penjual dari barang milik Antam, siapa yang menjualnya, yang menggunakan dokumen KKP, karena klien kami hanya meminjamkan dokumen saja, dia tidak tahu apakah itu barang diambil dari IUP PT Antam atau dari wilayah IUP lain tidak tahu,” bebernya.
Sebelumnya, Asintel Kejati Sultra Ade Hermawan mengatakan pihaknya telah menyita barang bukti dalam kasus ini. Salah satunya, uang senilai Rp75 miliar dari mata uang rupiah, USD dan SGD dari tersangka berinisial AA selaku Dirut PT KKP dan tersangka lainnya.
Barang bukti lainnya yakni ore nikel sebanyak 161.740 MT dari stock field PT LAM, ore nikel dari stock field PT KKP sebanyak 50.000 MT, rumah milik WAS di Kota Bekasi, Jawa Barat, 1 unit mobil Honda Accord milik PT LAM yang dikuasai oleh GL, hingga dokumen dari Kantor PT LAM dan PT Antam Tbk di Blok Mandiodo.
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan 10 tersangka dalam kasus dugaan korupsi penambangan ilegal di IUP PT Antam di Blok Mandiodo. Dua tersangka yang baru-baru ini ditetapkan ialah mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin dan HJ selaku Sub Koordinasi RKAB Kementerian ESDM.
“Sampai saat ini sudah menetapkan tersangka 10, yang hari ini kita tetapkan dua tersangka. Atas nama RJ selaku mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara di Kementerian ESDM dan yang kedua atas nama HJ selaku Sub Koordinasi RKAB Kementerian ESDM,” kata Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana. (Z-10)